Indah Pada Waktunya

Sabtu, 15 Februari 2014

Sintong Panjaitan, sang prajurit komando (2)

Posted on Updated on

Hubungan Sintong Panjaitan dengan Prabowo Subianto, mengalami saat-saat yang dekat dan kemudian retak bahkan boleh dikata terputus. Sebelum kejadian tahun 1985, Sintong dan Prabowo adalah anggota sesama warga “baret merah” yang dikenal punya kedekatan emosional yang cukup tinggi. Sintong boleh dikata tak pernah menjadi atasan langsung Prabowo. Karena pada saat itu Prabowo masih berpangkat kapten, sementara Sintong sudah Kolonel.


Hubungan antara Sintong Panjaitan dengan Prabowo Subianto, agaknya punya cerita tersendiri. Dalam buku tulisan Hendro Subroto itu, paling tidak ada 4 kali kejadian yang melibatkan Prabowo Subianto. Di tahun 1983, Kapten Prabowo Subianto pernah mengatakan bahwa Benny Moerdani akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Prabowo dengan pangkat Kapten, bahkan sempat menemui beberapa jenderal perihal tuduhannya itu. Tapi para jenderal itu tak percaya dengan tuduhan Prabowo. Tanpa seijin atasan langsungnya, Prabowo bahkan berencana menyiapkan pasukannya untuk melakukan “pengamanan” (dalam tanda kutip) terhadap beberapa jenderal. (Halaman 452-460)

Kejadian kedua adalah ketika Prabowo memaksa menghadap untuk mempertanyakan kepindahannya dari Kopasandha ke Kostrad. Lihat posting terdahulu di sini.

Kejadian ke tiga adalah ketika Prabowo Subianto, diperiksa oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dimana Prabowo diperiksa dengan kaitan aksi Tim Mawar Kopasus yang menculik sejumlah aktivis. Menurut Sintong, sebagai Komandan Kopasus, Prabowo seharusnya mengetahui dan bertanggung jawab atas kegiatan Tim Mawar. Anggota Tim Mawar mengatakan bahwa mereka mendapat perintah dari Mayor Bambang Kristiono. Pengadilan militer tidak meneliti tuntas, dari mana asal perintah yang sesungguhnya. (Halaman 470-471). Padahal dalam tradisi “baret merah” sekecil apapun kegiatan anggota komando, selalu diketahui Komandan. Mekanisme itu sudah standar di lingkungan “baret merah”.
Ketika anggota “Tim Mawar” Kopasandha/Kopasus dijatuhi hukuman karena terkait penculikan para aktivis. Pada waktu itu Prabowo adalah Komandan Jenderal Kopasus. Sintong Panjaitan menangis karena mantan anakbuahnya dihukum akibat melaksanakan perintah atasannya. (Halaman 472)

Kejadian ke empat adalah ketika Prabowo yang baru dipecat sebagai Panglima Kostrad oleh Presiden Habibie, memaksa untuk menemui Habibie dan mempertanyakan pemecatannya. Sintong Panjaitan sebagai Penasihat Presiden Habibie, “memaksa” Prabowo melepas pistolnya ketika akan melakukan pertemuan empat mata dengan Habibie. Sintong teringat kejadian di Korea Selatan, ketika Presiden Park Chung Hee ditembak mati dari jarak dekat oleh Jenderal Kim Jae Gyu di istana presiden Korsel. (Halaman 10 -18).
**

Sebagaimana disebutkan di posting terdahulu (1), buku Sintong ini bukanlah otobiografi atau biografi. Ia hanya catatan penggalan perjalanan Sintong Panjaitan. Sebagai buku ia juga tak memuat pemikiran Sintong secara utuh, padahal Sintong dinilai berprestasi membenahi Kopasandha. Prestasi Sintong mengembangkan satuan komando anti teror, juga tidak dijelaskan secara lengkap. Padahal pemikiran dan ide Sintong, amat berharga bagi militer Indonesia.

Buku ini memang mengungkap beberapa hal tentang kejadian di tubuh militer Indonesia, sayang justru di banyak bagian, ungkapan informasi terasa tidak lengkap dan kurang sistematis. Sehingga, pembaca awam tidak bisa mengikuti alur informasi dan malahan bingung membaca sistematika penulisannya. Agaknya baik penulis Hendro Subroto dan Sintong Panjaitan tidak mempunyai data-data otentik dan akurat. Sehingga mereka tidak mau mengungkap peristiwa di lingkungan militer secara gamblang. (supaya tidak dinilai memfitnah). Alhasil, banyak bagian dari kejadian yang ditulis, justru menimbulkan tanda tanya lanjutan. Pembaca dibiarkan menyimpulkan sendiri dari kejadian-kejadian yang ditulis.
Dalam kapasitas Sintong Panjaitan sebagai perwira yang cerdas, semestinya ia bisa menganalisis dan menjelaskan cerita dibalik kejadian (untold stories). Tapi buku Sintong, melewatkan bagian-bagian penting dari kejadian itu, dan tetap membiarkannya menjadi misteri. Kehadiran “pasukan liar” pada kasus penembakan di Santa Cruz, Dilli, misalnya tidak diungkap tuntas oleh Sintong dalam bukunya. Latar belakang peristiwa yang mengakhiri karir militer Sintong itu tentu sangat menarik untuk diketahui masyarakat. Tapi buku Sintong hanya menjelaskan sepotong-sepotong.

Meski Sintong belum bisa mengungkap fakta kehadiran “pasukan liar” di Santa Cruz, tapi seharusnya ia juga bisa menampilkan anlisis militer tentang hal itu. Beberapa fakta tentu bisa di analisa, sehingga membentuk “benang merah” kejadiannya. Laporan penyelidikan Kasus Santa Cruz, memang bersifat “top secret“, tapi Sintong mestinya bisa “mengintip” sebagian isi laporan untuk membuat analisa.

Dalam sidang Dewan Kehormatan Militer (DKM), yang dibentuk untuk menyelidiki kasus Santa Cruz, sebagai prajurit, Sintong tidak punya banyak “ruang” untuk menjelaskan ketidaksalahannya dalam kasus Santa Cruz. Akhirnya DKM memutuskan bahwa Sintong dianggap bertanggung jawab atas kejadian Santa Cruz 12 Nopember 1991. Buntutnya ia dicopot sebagai Pangdam. Karir militernya tamat. Amerika bahkan sempat menuduh Sintong sebagai penjahat perang karena kasus itu.

Melalui buku nya, Sintong semestinya bisa membuka semua fakta dan membebeberkan “kebenaran” yang sesungguhnya. Buku yang seharusnya bisa menjelaskan “pembelaan” Sintong atas pencopotannya, tapi hal itu tidak dilakukan. Sayang banyak pertanyaan itu tidak ditemukan dalam buku Sintong. Harapan publik agar Sintong mengungkap kebenaran dalam kasus Santa Cruz, maupun kasus lainnya, tidak terpenuhi.

Menurut Nurhana Tirtaamijaya, Dan Pomdam Udayana, pada tahun 1990-1991, penembakan di Santa Cruz, justru dilakukan oleh pasukan liar. Kehadiran pasukan liar itu terorganisir secara sistematis, cuma tidak menggunakan atribut. Pasukan liar di Santa Cruz dikendalikan oleh orang-orang dari Jakarta yang ingin menyingkirkan Sintong. Nurhana melakukan investigasi dalam kapasitasnya sebagai Dan Pomdam IX Udayana, setelah kejadian Santa Cruz.

Nurhana Tirtaamijaya menulis:
Ceritanya sangat panjang dan complicated/rumit, kalau saya ceritakan semua, bisa bisa mengundang fitnah… Yang saya tahu pasti adalah, pada saat saya melakukan penyelidikan dan penyidikan langsung kasus tragedi 12 November Dilli untuk diajukan kepengadilan militer atas desakan internasional, saya menemukan fakta/hasil penyelidikan yang berbeda dengan hasil yang diumumkan pemerintah, yaitu pembunuhan dalam tragedi tersebut ternyata dilakukan oleh sekelompok pasukan liar yang bersenjata lengkap tapi memakai pakaian preman, dari satuan infantri yang dipimpin oleh yang anda singgung didalam komentar anda…bukan oleh kelompok yang dijadikan tersangka oleh hasil penyelidikan pemerintah pusat..
Hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut saya laporkan ke pimpinan tertinggi TNI AD di Jakarta…tapi ternyata tidak digubris dan tetap harus menggunakan hasil temuan pemerintah..
Dari situ saya menjadi kecewa dan miris, kok pimpinan TNI AD tidak menegakan kejujuran, kebenaran dan keadilan…Loloslah pelaku pembunuhan yang sebenarnya, yang mendesain untuk mendiskreditkan Pak Sintong sebagai Pangdam Udayana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar